Evi Kurnia Sari ( Kepemimpinan Berdasarkan Akhlak Islam)





KEPEMIMPINAN BERDASARKAN AKHLAK ISLAM
Evi Kurnia Sari
Mahasiswa Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: evikurniasari25@gmail.com


1. Paradigma Ilmu dalam Pandangan Islam yang Menjadi Dasar Pengembangan Konsep “Kepemimpinan Berdasarkan Akhlak Islam”
 
Ismail Raji al-Faruqi dalam pandangannya berkata bahwa ilmu pengetahuan masa kini adalah ilmu pengetahuan yang berada dalam kerangka filsafat ateis materialis yang berlaku di Barat, yang memungkinkan bagi umat Islam untuk mengislamkannya. Untuk itu Syeikh Idris mengusulkan agar mengislamkan ilmu pengetahuan dengan meletakkannya di atas fondasi Islam yang kuat, dan mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu pengetahuan (Daud, 1998).

Sementara menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa di islamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya (Armas, 2005). Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan islam. Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi, dan uang untuk berkreasi (Muhammad Shopan, 2005). Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, “seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya (Daud, 1998).

Untuk dapat mengetahui lebih jelasnya tentang paradigma ilmu dalam pandangan islam, dalam hal ini ada beberapa acuan atau tolak ukur dalam pandangan islam yang digunakan untuk pengembangan ilmu, yang terdiri dari paradigma tauhid, paradigma ibadah, paradigma akhlak, dan paradigma ilmu. Oleh karena itu, di sini akan diuraikan dan dijelaskan masing-masing dari beberapa paradigma tersebut.

1.1  Peran Penting Paradigma Islam dalam Pengembangan Ilmu
            Pentingnya sebuah peran paradigma islam dalam pengembangan ilmu yang dapat  mempermudah klasifikasinya tentang ilmu pengetahuan ke dalam kategori ilmu fardhu ‘ain (khusus) dan fardhu kifayah (umum), dengan demikian keduanya dapat saling melengkapi. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan islam tidak bertolak belakang secara menyeluruh dengan pengetahuan Barat, ada segi-segi tertentu yang merupakan titik persamaan dan perbedaannya. Titik persamaannya adalah keberadaannya diterima secara universal. Ilmuan Muslim berpendapat bahwa ilmu pengetahuan Barat dibangun dengan cara pandang dan filosofi Barat termasuk dalam memandang realitas. Oleh karena itu, konstruksi ilmu pengetahuan perlu dibangun kembali dengan cara pandang Islami. (Awaludin, 2004) inilah proyek keilmuan umat Islam saat ini yang akan diimplementasikan dalam bentuk islamisasi ilmu pengetahuan. Seperti indera dan akal sebagai salah satu media mendapatkan ilmu pengetahuan. Namun, islam mengakui keterbatasan indera dan akal, akhirnya ilmu dalam islam dirancang dan dibangun melalui kedua sumber tersebut berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber dari wahyu Allah (Muhammad Qomar, 2005).

Dengan adanya keterbatasan manusia pada indera dan akal, akhirnya ilmu dalam islam dirancang melalui kedua sumber yaitu Al-qur’an dan Hadist,  berdasarkan dengan kekuatan spiritual yang diberikan Allah melalui sebuah wahyu.  Dengan demikian, sumber-sumber pengembangan ilmu dalam islam ialah Al-qur’an dan hadist, yang seluruh kandungan dalam keduanya adalah ilmiah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan apapun yang dikembangkan manusia telah ada dalam kedua sumber islam tersebut. Oleh karena itu, keduanya dapat dijadikan sumber rujukan langsung dalam upaya pengembangan jenis ilmu apapun di dunia ini. Artinya, ilmu apapun sudah ada dalam Al-qur’an maupun hadist (Walbridge, 2011).

Dalam menjadikan sumber rujukan langsung, maka metode pengembangan ilmu dalam islam juga merupakan ranah epistemologi sebagai salah satu cabang dari filsafat ilmu. Para pemikir muslim memformulasi bangunan epistemologi islam berdasarkan Al-qur’an dan hadist. Pengembangan ilmu ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat islam agar dapat memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam islam (Muhammad Qomar, 2005).
                                                                              
1.2  Paradigma Tauhid
Landasan utama dan yang pertama untuk mengakui dan meyakini akan keesaan Allah dan hanya mengikuti hukum Allah yang memiliki kebenaran secara mutlak dan hanya peraturan Allah yang mengikat manusia secara mutlak. Karena pentingnya tauhid sehingga mempunyai kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam kehidupan seorang Muslim yang menjadi dasar dalam akidah, syariat dan akhlaknya. Seorang hamba yang mengakui akan keesaan Allah maka ia melakukannya dengan cara menjaga suatu komitmen sebagai seorang hamba kepada Allah, dalam hal bertauhid yang harus di jaga tanpa melakukan hal-hal yang dapat merusak hubungan seorang hamba kepada Sang Khalik. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap Muslim wajib mempelajari, mengetahui dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya (Umar al-Arbawi, 1984).  

Adapun pandangan Ulama tentang tauhid yang diberikan pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimallah mengatakan: Orang yang mau mentadabburi keadaan alam akan mendapati bahwa sumber kebaikan di muka bumi adalah bertauhid dan beribadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa serta taat kepada Rasulullah, sebaliknya semua kejelekan di muka bumi ini: fitnah, musibah, paceklik, dikuasai musuh dan lain-lain penyebabnya adalah menyelisishi Rasulullah dan berdakwah (mengajak) kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Orang yang mentadabburi hal ini dengan sebenar-benarnya akan mendapati kenyataan seperti ini baik dalam dirinya maupun diluar dirinya” (Majmu’ Fatwa 15/25).

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa yang paling penting dan yang paling utama ialah menjaga sebuah komitmen terhadap keesaan Allah, dimana sebagai seorang hamba maka kita harus selalu berpegang teguh kepada tali agama Allah, dan selalu teguh dalam mengesakan Allah, karena hidup ini hanya untuk Ilahi Rabbi.
                                                
1.3  Paradigma Ibadah
Merupakan perasaan tunduk dan patuh kepada Allah dan akhir dari perasaan untuk merasakan kebesaran Allah sebagai tempat pengabdian diri. Ibadah juga merupakan tangga penyambung antara akhlak dan Penciptanya. Selain itu, ibadah juga mempunyai kesan-kesan yang tersembunyi antara hamba dengan sang Pencipta. Islam mempunyai keistimewaan dengan menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah, apabila ia niatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi untuk mencapai keridhaan serta dilakukan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Dalam hal ini, ibadah juga termasuk dalam segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat al-ma’na) seperti shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk dan sujud, maupun yang berhubungan dengan lidah seperti dzikir, dan hati seperti niat (Zakiyah, 1995).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia niatkan” .
                       (HR. Bukhari, no. 1)

            Dengan demikian, ibadah yang dilakukan atau dikerjakan oleh setiap hamba haruslah sesuai dengan niatnya, dan sesuai dengan perbuatan yang ia niatkan. Bila niat seorang hamba itu baik, maka baiklah ibadahnya, namun bila niat seorang hamba itu buruk, maka buruklah ibadahnya. Karena tolak ukur seorang hamba di hadapan Rabbnya ialah dengan ibadah dan taqwanya.

1.4  Paradigma Akhlak

Merupakan suatu kepribadian individu yang berkaitan erat dengan penilaian terhadap suatu perbuatan  yang  menyatakan baik atau buruknya akhlak tersebut. Dengan diterapkannya akhlak maka akan tercipta kehidupan yang tertib, teratur, dan damai sehingga setiap orang akan merasakan kenyamanan yang menyebabkan seorang hamba dapat berakhlak yang baik dan mulia (Abuddin Nata, 2013).

Dengan demikian, dapat di tarik ulur kembali ke belakang dimana sejak dari awal belajar tentang Islam kita sudah dikenalkan pada pokok keimanan dalam Islam, antara lain tentang bagaimana kita harus mengimani Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, Beliaulah teladan terbaik umat manusia, maka dekatkanlah diri kita, kehidupan kita dan nafas kita pada akhlak Nabi Muhammad. Segala hal yang diperintahkan Allah sebagaimana tersurat di dalam Al-qur’an, sehingga Allah sendiri memuji dalam firman-Nya.
 
        Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudipekerti    yang agung”
               (al-Qur’an surah Al-Qalam, 68:4)

            Oleh karena itu, akhlak merupakan kepribadian setiap masing-masing individu yang menjadikan cermin dari tingkah laku setiap individu. Baiknya akhlak seorang individu akan mengantarkan ia pada akhlak yang baik atau berbudi pekerti yang baik, namun sebaliknya buruknya akhlak seorang individu akan menjatuhkan ia pada akhlak yang buruk (akhlak mazmumah) .
                                                                   
1.5  Paradigma Ilmu
Ilmu adalah kunci untuk menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan sebagai cahaya, karena ilmu memiliki fungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang berada dalam kegelapan. Menuntut ilmu adalah hal yang paling wajib yang dilakukan manusia untuk memperluas wawasan sehingga derajat kita pun bisa terangkat. Menuntut ilmu juga merupakan ibadah, sebagaimana hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam,

                             “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”.
 
                    (Ibnu Majah, no. 224)

Ilmu merupakan pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu rangkaian aktifitas yang di telaah untuk mencari suatu penjelasan dan memahaminya secara rasional. Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, serta hadis Nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu (Ahmad Tafsir, 1964).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam bersabda: “Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.”

                                                                                                             (HR. Tirmidzi, no. 2682)

            Ilmu mempunyai peran yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin menuntutnya, sehingga Allah sendiri akan memudahkan jalan hamba-hamba-Nya untuk menuju syurga bagi hamba yang perjalanannya selalu dalam niat untuk mencari dan menuntut ilmu. Begitu pentingnya untuk menuntut dan mencari ilmu sehingga Allah juga akan meninggikan derajat hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha untuk mencari dan menuntut ilmu. Wallahu a’lam..


2     2.  Konsep Kepemimpinan Menurut Paradigma Islam
Salah satu hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia yang hidup di muka bumi ini adalah kepemimpinan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam salah satu hadistnya yang sangat populer, yaitu “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Kesimpulan yang diambil dari hadist tersebut adalah bahwa manusia secara tidak disadari telah menjadi seorang pemimpin , ialah pemimpin bagi dirinya sendiri. Kepemimpinan dalam Islam merupakan kepemimpinan Allah yang sifatnya mutlak. 

Tidak lari dari konsep kepemimpinan di atas, maka ada beberapa implementasi yang berhubungan dengan konsep kepemimpinan dalam pandangan islam, antara lain yaitu:      

2.1  Komitmen sebagai Implementasi Tauhid
Tauhid berpijak pada fondasi kalimat laa ilaha ilaa allah, merupakan nuclear of mean dari tauhid yakni suatu komitmen trasendental yang dihadapkan hanya kepada Tuhan Allah Subhana Wa Ta’ala. Hal ini diperkukuh secara implisit dalam firman-Nya.

   Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
          
                    (al-Qur’an surah Adz-Dzariat, 51:56)

Ayat ini menunjukkan kehidupan manusia bermuara kepada Tuhan. Walaupun muara kehidupan itu adalah Tuhan, bukan berarti kehidupan itu kosong dan kering dari ruh kemanusiaan dan aksi transformatif. Kehidupan tidak akan bermuara pada batasannya tanpa dikawal dan didorong oleh kebajikan yang luwes terhadap alam. Dalam kerangka inilah sesungguhnya tauhid menemukan makna sejatinya sebagai the heart of Islam (jantung Islam), hingga menjadi amunisi, tumpuan spirit untuk melakukan transformasi (Nurus Shalihin Djamra, 2011).

Tauhid dalam tatanan praktis mesti menjadi komitmen keimanan terhadap Allah. Keluar dari komitmen ini berarti keluar dari lingkaran tauhid, bahkan bisa di katakana fasiq atau kufur. Tauhid merupakan komitmen menyeluruh, mendasar, menjadi patokan bahwa sumber dan dasar kehidupan adalah Allah, dan bermuara pada aksi kemanusiaan. Meminjam tema Amien Rais, bahwa pandangan tauhid berpatokan pada komitmen meng-esakan Tuhan, akan melahirkan konsepsi ketauhidan yang lain, dalam wujud keyakinan akan muncul kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan pedoman hidup, dan kesatuan tujuan hidup umat manusia (M. Amien rais dalam Haedar Nashir)

Dalam menjalankan sebuah komitmen yang dipegang kuat oleh seorang hamba, maka dari itulah lahir sebuah tanggung jawab yang besar dalam melakukan setiap perintah Allah, dengan menjadikan konsekuensi yang berat agar tidak terjadi penyelewengan dalam meng-esakan Allah. Komitmen yang menjadi dasar utama sebagai pegangan seorang hamba maka haruslah dijaga dan dirawat sebaik-baiknya, agar tidak dapat digugurkan atau digantikan dengan hal-hal yang tidak penting untuk yang lainnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa implementasi tauhid lebih menekankan pada persoalan kepentingan pegangan, pengilmuan dan penghayatan terhadap Allah Subhana Wa Ta’ala. 

2.2  Pengabdian sebagai Implementasi Ibadah
            Berawal dari arti ibadah merupakan puncak ketaatan dan ketundukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta (al-hubb). Maka dari itu bagi seorang pemimpin, bukan hanya aktivitas atau pekerjaan saja sebagai ibadah. Tetapi ibadah juga merupakan pengabdian seorang pemimpin kepada sang Khalik, yang menjalankan tanggungjawabnya baik sebagai individu maupun sebagai seorang pemimpin. Dengan demikian, pengabdian yang dilakukan seorang pemimpin tidak semata-mata karena tugas dan tanggungjawabnya kepada masyarakat, tetapi juga pengabdian pribadi seorang pemimpin kepada sang Khalik (Syakir Jamaluddin, 2010).

            Pengabdian yang dilakukan seorang pemimpin tidak sebatas akhir kehidupan dunia saja, tapi sampai pada kehidupan akhirat. Dimana perilaku seorang hamba selama hidup di dunia akan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhana Wa Ta’ala Tuhan semesta alam. Oleh karena itu, prinsip just do it nya adalah mengerjakan segala sesuatu dengan penuh keikhlasan karena melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang pemimpin semata-mata untuk  mengharapkan ridha Allah Subhana Wa Ta’ala, sehingga ukuran yang digunakan bukan lagi manusia, tetapi sudah menggunakan ukuran Tuhan pencipta Alam semesta. Pemimpin yang memantapkan nilai-nilai etika kepribadian dalam menjalankan peran kepemimpinannya yang didasarkan pada pelaksanaan tugas adalah panggilan ibadah sebagai hamba yang menjalankan setiap aktivitasnya (Muhammad Ali, 2015).

            Pentingnya implementasi ibadah yang dilakukan seorang hamba merupakan sebuah pengabdian kepada Rabbnya dan pengabdian terhadap tanggung jawab yang harus dipenuhi bagi seorang hamba. Baik dalam menjalankan perintah Allah maupun perintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dengan demikian, implementasi yang dijalankan setiap hamba haruslah berupa pengabdian dan perasaan patuh serta tunduk atas apa yang telah menjadi tanggung jawab dan kewajiban pada setiap masing-masing hamba.
                                                                   
2.3  Kepribadian sebagai Implementasi Akhlak
            Akhlak dapat dikatakan sebagai fondasi yang kokoh dalam konsep kepemimpinan yang dijalankan sesuai dengan perintah Allah dan contoh suri Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam. Dalam kepemimpinan pada zaman Rasulullah, akhlak yang dimiliki Rasul merupakan fondasi yang kokoh yang melandasi sebuah konstruksi bangunan yang bernama “kesuksesan dunia akhirat” bagi setiap manusia sebagai hamba Allah. Dengan demikian, pentingnya akhlak dalam kepemimpinan menjadi peran penting bagi seorang pemimpin, karena bila pemimpin memiliki akhlak yang baik, maka tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin akan berjalan dengan baik, layaknya fondasi yang berdiri tegak dan kokoh, tidak ada penghalang diantaranya selama seorang pemimpin memiliki akhlakul karimah (Veithzal Rivai, 2014).

            Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki akhlak yang mulia untuk memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat yang dipimpinnya. Bila seorang pemimpin berhasil menjalankan pemerintahannya, maka pemimpin tersebut dapat dikatakan sebagai khalifah yang telah mengikuti dan meneladani kepemimpinan pada zaman Rasulullah. Maka dapat dikatakan baiklah seorang pemimpin yang memiliki akhlakul karimah dan berpegang teguh pada akhlak yang dimiliki. Jangan sampai akhlak yang ada pada diri seorang pemimpin hilang dan mengakibatkan kehancuran pada masa-masa pemerintahannya. Bila akhlak yang baik sudah hilang dari diri seseorang, maka akan datanglah akhlak yang buruk pada diri orang tersebut. Maka dari itu, sangat pentinglah akhlak dalam diri seseorang bahkan pemimpin sekalipun, karena akhlak merupakan fondasi yang kokoh dan kuat untuk menyokong dan berdiri tegaknya sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang pemimpin.

2.4  Pengetahuan sebagai Implementasi Ilmu
            Ilmu merupakan suatu pembelajaran dan sebagai pengetahuan dalam konsep kepemimpinan yang dijalankan. Ilmu merupakan salah satu hasil olah pikiran atau ide individu yang di kembangkan dalam kehidupannya sehari-hari. Tanpa ilmu, seorang pemimpin tidak akan menjalankan kewajibannya dengan baik dan teratur. Seorang pemimpin yang tanpa ilmu, maka ibarat kerangka rumah yang tidak mempunyai fondasi yang kuat untuk menyokong setiap tiang-tiangnya dan mungkin saja akan mengalami keruntuhan, dapat diartikan bahwa pemimpin yang tidak berilmu tidak akan sanggup untuk memerintah kepemimpinannya dan mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Bisa saja kepemimpinan itu akan jatuh atau runtuh bahkan tidak dapat berdiri tegak layaknya kerangka rumah yang memiliki fondasi yang kuat nan kokoh. Layaklah memilih dan menjadi seorang pemimpin itu mestilah berilmu yang tinggi dan wawasan yang luas, karena dengan banyaknya ilmu seorang pemimpin akan sanggup untuk memerintah dan mengayomi masyarakat yang dipimpinnya sesuai dengan tanggungjawab seorang pemimpin (Herimanto, 2010).

            Begitu pentingnya implementasi ilmu dalam kehidupan setiap hamba sehingga menunjukkan bahwa kaitan ilmu dalam kehidupan sangat berpengaruh besar. Sehingga seorang hamba tanpa ilmu seperti berjalan dalam kegelapan, tanpa sinar cahaya yang terang.

            Oleh karena itu, pentingnya bagi setiap hamba untuk memiliki pengetahuan yang luas agar dapat menjalankan setiap tanggung jawabnya sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan kesanggupannya. Dengan demikian, implementasi ilmu yang menjadi dasar utama sebagai pengetahuan haruslah dilakukan dengan suatu pembelajaran yang sungguh-sungguh, agar dapat tercapai setiap apa yang diharapkan dengan hasil dari pengetahuannya.








Kesimpulan
Kepemimpinan yang adil dan selalu bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan merupakan salah satu contoh dari kepemimpinan pada masa Rasulullah. Dimana pemimpin tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga mementingkan kehidupan dan nasib rakyat yang dipimpinnya. Akhlak yang baik juga merupakan faktor penting yang harus dimiliki pada diri seorang pemimpin. Jika akhlak pemimpin baik, maka baiklah segala sesuatu yang ia pimpin. Tetapi jika akhlak seorang pemimpin buruk, maka akan datanglah kehancuran pada kepemimpinannya. 

Dari rumusan masalah yang ada pada lembar kertas kerja sebelumnya, maka dapat di tarik kesimpulan atas jawaban dalam pertanyaannya yaitu:

1    1. Dilihat atau ditinjau dari perspektif sejarah kepemimpinan pada zaman Rasulullah, maka tidak dapat     dipungkiri lagi bahwa Rasulullah sendiri adalah contoh teladan yang terbaik sepanjang zaman. Oleh karena itu, sehingga ketinggian dan kesempurnaan akhlak beliau sangatlah memukau, agung, dan mempesona, tidak saja untuk umat islam bahkan untuk umat non islam sekalipun. Posisi akhlak dalam islam diibaratkan sebagai fondasi yang menyokong setiap konstruksi sebuah bangunan kehidupan yang dijalankan oleh seorang pemimpin. 
Paradigma kepemimpinan yang ada pada diri Rasulullah yang telah memberikan contoh terbaik sebagai pemimpin yang berakhlak mulia. Dalam hal ini, akhlak pada zaman Rasululah merupakan salah satu yang terpenting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Dengan demikian, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, haruslah mencontoh kepemimpinan Rasulullah dan harus memiliki akhlak yang baik pula.

2    2. Paradigma konsep yang dikembangkan dalam kepemimpinan merupakan salah satu wujud yang harus dilakukan agar dapat tercipta hubungan baik antara hamba dengan Allah (habluminnallah), hubungan manusia dengan sesama (hablumminannas), dan hubungan dengan sumber alam (lingkungan). 

Pandangan islam dalam paradigma ilmu yang menjadi pengembangan konsep kepemimpinan antara lain, yaitu:
-          Paradigma Tauhid
-          Paradigma Ibadah
-          Paradigma Akhlak
-          Paradigma Ilmu

Konsep kepemimpinan menurut paradigma islam
-          Komitmen sebagai implementasi Tauhid
-          Pengabdian sebagai implementasi Ibadah
-          Kepribadian sebagai implementasi Akhlak
-          Pengetahuan sebagai implementasi Ilmu





DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata. (2013). Pemikiran Islam dan barat. Jakarta: Rajawali Perss.
Ahmad Tafsir. (1964). Ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Armas. (2005). Krisis epistemologi dan islamisasi ilmu. ISID Gontor: Center for islamic and occidental studis.
Awaludin. (2004). Konsep islamisasi iptek dalam tarbiyah digital. Journal Al Manaar , 6.
Daud. (1998). The educational philosophy and practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas. Bandung: Mizan.
Herimanto. (2010). Ilmu sosial dan budaya. Jakarta: Bumi Aksara.
M. Amien rais dalam Haedar Nashir. (n.d.). Prespektif tauhid sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Retrieved April, 2016, from www.muhamdiyah.or.id.
Muhammad Ali. (2015). Peran kepemimpinan. Jambi.
Muhammad Shopan. (2005). Islamisasi ilmu pengetahuan. Jurnal ilmu-ilmu sosial dan humaniora , 11.
Nurus Shalihin Djamra. (2011). Tauhid dan keshalehan sosial. membumikan tauhid pembebasan kaum mustadh'afin , 03.
Muhammad Qomar. (2005). Epistemologi pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Syakir Jamaluddin. (2010). Kuliah fiqh ibadah. LPPI UMY: Surya Sarana Grafika.
Umar al-Arbawi. (1984). Kitab al-Tawh. Aljazair: Matba'at waraqat asriyah.
Veithzal Rivai. (2014). Pemimpin dan kepemimpinan dalam organisasi. Jakarta: Raja Wali Pers.
Walbridge, J. (2011). God and logic in Islamic. Cambridge: Cambridge University Press.
Zakiyah. (1995). Ilmu fiqh. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf.






 


Comments