Rico Januarsyah (Kompensasi Dalam Pandangan Islam)



KOMPENSASI DALAM PANDANGAN ISLAM

Rico Januarsyah
Mahasiswa Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah 
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: ricojanuarsyah@gmail.com

      1.  PARADIGMA ISLAM DALAM PENGEMBANGAN ILMU 

1.1.   Peran Penting Paradigma Islam Dalam Pengembangan Ilmu 


 Pentingnya paradigma islam dalam pengembangan ilmu karena ilmu ekonomi islam  memulai dengan sesuatu pemahaman tentang tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang telah ditentukan  oleh tuhan dan tidak akan dapat dilihat tanpa hal-hal itu. Yang dimaksud dalam paradigma atau  pandangan umum adalah pendapat yang dikemukakan para ilmuan disemua fenomena yang  dikaji. Paradigm lebih besar cakupannya dari teori, karena para ilmuan menetapkan suatu teori  dalam bidang keilmuan yang berbeda berdasarkan paradigm yang ada pada masanya. Apabila  muncul satu paradigma baru , maka berubahlah semua pola piker para ilmuan tersebut  (Muhammad Izzuddin Taufiq, 2006)
Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu dilakukan sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti kemudia kajian berlanjut di Barat hingga kini dan setelah itu baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian. Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi duaa yaitu ‘ilm ilahiy (devine science) dan ‘ilm insaniy (human science). ‘ilm ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut terakhir adalah pemikiran (ratio-reason). Abu Hamid al-Ghazali (1111M) membagi ilmu terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal. Ia membagi ilmu kepada religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aliyah). Al-Ghazali juga membagi ilmu kepada hudluri (yang dihadikan) dan hushuli (yang dicapai). Dari pembagian ini, nampak jelas bahwa al-Ghazali memandang bahwa sumber ilmu yang utama adalah wahyu ilahi dan sumber kedua adalah pengalaman (empirik). Dalam mendapatkan ilmu, manusia menurut al-Ghazali menggunakan indera, akan dan Qalb.

1.2.    Paradigma  Tauhid                                                                                                                       Menurut arti harfiah, tauhid itu ialah “mempersatukan” berasal dari kata wahid yang berarti “satu”. Menurut istilah Agama Islam, tauhid itu ialah keyakinan tentang satu atau Esanya Tuhan. Dan segala pikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu yang disebut ilmu tauhid (Zainuddin, 1996)

Tauhid merupakan benteng kaum muslimin, sebagaimana disampaikan junjungan kita Nabi Muhammad SAW melalui hadits qudsi yang diriwayatkan Abu Na’im, Ibnu Najjar, dan Ibnu Taskir yang bersumber dari Ali Bina Abi Thalib.r.a. “apabila seseorang mengucapkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah dengan hati penuh keikhlasan, keimanan dan keyakinan maka berarti dia telah masuk kedalam benteng milik Allah dan dapat bertahan terhadap segala macam kesulitan hidup. Pribadi atau umat itu akan merasa aman dari siksa dan hukuman Allah (Tarmizi Taher)
Sebagaimana kita ketauhui, ajaran atau nilai-nilai tauhid inilah yang membedakan Islam dengan Agama lain. Sejarah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang paling konsisten dalam berpegang pada ajaran tauhid. Tujuan pengutusan nabi Adam sampai nabi Muhammad Saw. Tidak lain adalah untuk menegakkan dan memurnikan ajaran tauhid yang telah digariskan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, agama yang benar adlah agama yang konsisten dengan ajaran tauhid yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan bertauhid berarti kita hanya mengakui satu Tuhan, yaitu  Allah Swt.
Konsekuensi bertauhid adalah hanya menyembah dan mengakui satu Tuhan, Allah Swt. Proses bertauhid yang kita jalani otomatis akan melahirkan suatu makrifat (pengetahuan) terhadap Allah dengan berbagai ragam cara dan lakon. Misalnya, kita akan sampai pada kesadaran tertinggi bahwa tujuan penciptaan diri kita didunia ini adalah untuk menjalankan amanah Allah selaku khalifah dimuka bumi. Dan yang perlu disadari, misi kekhalifahan tersebut tidak akan berhasil dan tidak bernilai ibadah bilamana kita meninggalkan ajaran Allah, Al-Quran (Siswo Sanyoto, 2008).

1.3.  Paradigma Ibadah

Perlu kita ingat bahwa ketika kita ingin mengungkapkan tentang hakikat ibadah, kita harus mencarinya dari kitab Allah dan sunnah Rasul-nya, agar hakikat ibadah yang kita temukan nantinya adalah hakikat yang benar. Sebab, Allah Swt tidak akan menurunkan suatu kitab atau mengutus seorang rasul kecuali unrtuk member penjelasan kepada manusia tentang tujuan dari penciptaan mereka dimuka bumi ini dan menunjukkan kepada mereka jalan yang harus ditempuh agar mereka dapat sampai kepada tujuan tersebut.
Jika kita merujuk kepada Al-Quran dan sunnah, niscaya kita akan mendapatkan bahwa pengertian ibadah didalam keduanya tidak hanya terbata pada perkara-perkara yang bersifat wajib saja, akan tetapi mencakup segala sisi kehidupan. Dan Ibadah itu adalah nama untuk seluruh perbuatan yang dicintai oleh Allah Swt dan diridhai-nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat zahir maupun yang bersifat batin (Umar Sulaiman Al-Asyiqar, 2005).
Seperti diyakini bahwa tidak satupun diantara ciptaan dan kebijakan Allah SWT yang tanpa hikmah. Didalam Al-Quran Surah Ali Imran(3) ayat 191 dinyatakan “ ya tuhan kami, tiada engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” Akan tetapi, tidak semua hikmah ibadah dapat dijangkau oleh kemampuan pengetahuan manusia.  Didalam Al-Quran digambarkan bahwa dari ibadah yang dilakukan akan menimbulkan kemashlahatan, diantaranya untuk mencapai derajat takwa bagi pelakunya seperti yang tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah(2) ayat 21 “ Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa” (Misbahus Surur, 2009)

1.4. Paradigma Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Menurut pengertian sehari-hari umumnya akhlak itu disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun. Khalq merupakan gambaran sifat batin manusia, akhlak merupakan gambaran bentuk lahir manusia, seperti raut wajah. (Tim pengembang Ilmu pendidikan FIP-UPI, 2007)
Kata akhlak menunjukkan sejumlah sifat tabiat fitri (asli) pada manusia dan sejumlah sifat yang diusahakan hingga solah-olah fitrah akhlak ini memiliki dua bentuk, pertama bersifat batiniyah (kejiwaan), dan yang kedua bersifat zahiriyah yang terwujud dalam perilaku (Ali Abdul Halim Mahmud, 1996).
Dalam prespektif islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya. Tidak bisa dikatakan sikap ini baik atau buruk hanya bersandar pada pendapat seseorang ataupun kelompok, karena bisa jadi pendapat tentang kebaikan dan keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua kelompok. (INCOMP, 2015). Akhlak merupakan bagian tak terpisahkan dari iman dan akidah, ketika Rasulullah ditanya: “siapakah orang beriman yang paling utama imannya?” maka beliau menjawab, “ yang paling baik akhlaknya.” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi, no. 1162 dan Abu Dawud, no. 4682)

1.5. Paradigma Ilmu

Pandangan islam tentang ilmu berbeda dengan pandangan syariat lain atau undang-undang dan peraturan buatan manusia.pembahasan tentang ilmu menurut kacamata islam harus menyeratakan tiga hal penting, yakni ilmu itu sendiri, orang yang berilmu, dan penuntut ilmu. “ orang yang paling menyesal kelak pada hari kiamat adalah orang yang memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu, namun ia tidak menuntutnya; dan orang yang mengetahui suatu ilmu sehingga orang lain dapat mengambil manfaatnya, sedangkan dirinya sendiri tidak dapat mengambil manfaatnya.” (Hadits Riwayat Ibnu ‘Asakir). Dengan demikian ilmu yang haq adalah ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya dan orang lain, guna membersihkan jiwa, beramar ma’ruf nahi mungkar, dan bertaqarub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dan mengajarkan ilmu termasuk kategori sedekah paling utama, dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “ sedekah yang paling utama adalah jika seorang muslim mempelajari ilmu dab mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah) (Hasan Asy Syarqawi, 1994)
Mengkaji ilmu adalah satu aktivitas yang dilakukan manusia. Ilmu sendiri memiliki definisi yang sangat beragam dan dapat dilihat dari berbagai buku referensi ataupun kamus. Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal-usulnya. Bila ingin mengetahui definisi ilmu yang komperhensif, maka ada baiknya kita merujuk pada kitab-kitab klasik islam. Salah satu definisi yang ada diantaranya, “ ilmu adalah satu keyakinan yang sesuai dengan realitas yang ada” dan “ ilmu adalah menelusuri hakikat sesuatu atau mengungkapkan karakteristik sesuatu dengan optimal” (Muhammad Izzuddin Taufiq, 2006).
Menurut Al-Quran, manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk menguasai ilmu pengetahuan. Manusia diukur antara lain oleh interaksinya dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, berulang kali dikemukakan dalam Al-Quran agar manusia berkerja pada amal-amal yang menghasilkan ilmu. Menusia diangkat sebagai khalifah–nya dan dibedakan dari yang lain karena ilmu pengetahuan. Manusia yang paling ideal dalam pandangan Al-Quran adalah manusia yang mencapai derajat ketinggian iman dan ilmu pengetahuan. Hanya saja perlu diingat, bahwa tujuan utama dari kepemilikan ilmu pengetahuan, bukan semata-mata mencerdaskan akal pikiran, atau untuk mempunyai kemampuan berdebat dan berdiskusi, akan tetapi untuk meningkatkan keimanan dan keyakinan kepada Allah, (Didin Hafidhuddin, 2003)sebagaimana firmannya :

"sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'ya tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
                                                               (Al-Quran Surah Ali Imran: Ayat 190-191) 

1.6. Paradigma Mardhatillah

Madhatillah ialah ridha Allah SWT, dan ridha itu artinya rela, mencari ridha Allah artinya mencari apa yang membuat Allah rela kepada kita. Maka seorang yang memiliki prinsip hidup mencari ridha Allah adalah mereka yang menuhankan Allah sekaligus memiliki prinsip Lailahaillallah. Tapi yang dimaksud mencari ridha Allah itu tidak hanya shalat dan ibadah dengan tekun kemasjid. Tidak hanya berzikir atau mengaji, namun memiliki makna yang sangat luas. Ini menyangkut filosofi hidup, menyangkut ideologi. Konsekuensinya sangat luas, seorang mencari ridha Allah maka ia akan mengikuti apa yang diinginkan Allah, ia akan banyak berbuat baik, berhati lembut, tidak suka menyakiti hati saudara, menjaga keamanan sosial, banyak berkorban untuk manusia. Yang diharapkan adalah cita-cita untuk mendapatkan ridha Allah adalah tujuan yang pertama, yang tengah, dan yang terakhir. Dengan arti kata bahwa semua tujuan dalam hidup ini adalah mencari ridha Allah yang maha kuasa. Barangsiapa yang menjadikan semua tujuannya hanya untuk mencari ridha Allah maka Allah akan mencukupi kebutuhan hidupnya (Anif Sirsaeba & Mansur Abdul Hakim Muhammad, 2007)

2. KONSEP KOMPENSASI MENURUT PANDANGAN ISLAM

2.1. Waktu implementasi dari Ibadah

 Salah satu keprihatinan utama dan terus-menerus bagi semua orang dewasa ini adalah bagaimana kita dapat menggunakan atau mengisi waktu, yaitu bagaimana kita dapat mengatasi keperluan yang muncul selama satu kehidupan yang terbatas tepat pada waktunya. Keperluan tersebut datang dari teman-teman, pekerjaan, dan hidup rohani kita. Dorongan-dorongan yang sulit dan sering bertentangan atau saling bersaing dalam kehidupan dewasa ini mempunyai suatu unsur atau medium yang sama yaitu waktu. Pada saat kita berjuan untuk mencintai secara baik, bekerja secara kreatif, dan masih memperhatikan diri sendiri, kita tidak dapat menghindarkan diri dari unsur ini atau merasa bahwa waktu adalah sesuatu yang diberikan diluar kontrol kita (Spillane, 2003).
Seorang tokoh agama yang hidup diabad pertengahan pernah mengatakan bahwa kalau tidak ditanya, dia tahu arti dari “waktu”. Akan tetapi, kalau dia diminta untuk menjelaskan arti dari “waktu” kepada orang lain, dia tidak mengetahuinya. Ada dua fakta yang memaksa kita menjadi lebih sadar akan keputusan pribadi dan dorongan dari luar yang membentuk waktu dari hidup kita: pertama, hidup manusia yang sekarang semakin lama semakin sibuk, dan kedua, kebanyakan tuntutan dihadapi oleh orang yang bertanggung jawab (Spillane, 2003).
Apabila kita implementasikan waktu kepada ibadah hidup akan bermakna, selam kita sendiri memberikan makna terhadap waktu. Bahkan, Al-Qur’an memberikan satu perhatian khusus akan nilai dan esensi waktu dengan peringatan.

“ demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya menaati kebenaran dan saling menasehati sepaya menetapi kebenaran” 
                                                      ( AL-Qur’an Surah An-Ashr  ayat : 1-3)
   
Waktu merupakan rangkaian momen, kejadian, atau batas awal dan akhir sebuah peristiwa. Hidup tak mungkin ada tanpa dimensi waktu. Karena, hidup adalah pemberdayaan lingkungan melalui gerak yang terukur. Kita dapat katakana bahwa waktu adalah salah satu dari titik sentral kehidupan. Seseorang yang menyia-nyiakan waktu, pada hakikatnya dia sedang mengurangi makna hidupnya. Bahkan, kesengsaraan manusia bukanlah terletak pada kurangnya harta, tetapi yang disebut dengan kesengsaraan yang paling nista justru karena membiarkan waktu berlalu tanpa makna (Toto Tasmara, 2000)
     Dalam kompensasi waktu memiliki arti sebagai suatu imbalan yang diberiakan perusahaan kepada para karyawan dengan ketentuan atau kesepakatan bersama, dan merupakan suatu imbalan balas jasa yang diberikan kepada karyawan yang melalkukan perkerjaan. Perusahaan memberikan kompensasi kepada karyawan dengan tepat waktu sesuai dengan perjanjian. Hal ini berdalil dengan hadis dari Abdullah bin Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda. "Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering." (Hadits Riwayat Ibnu Majah). Hadis sahih ini berupa perintah yang wajib ditunaikan para majikan. Haram hukumnya menangguhkan gaji pekerja tanpa alasan yang syar'i (Republika Mahaka Group, 2015). 
                                               
2.2. Pengalaman implementasi dari Ilmu

Pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik (Manulang, 1984). Selain posisi dan jabatan, pendidikan dan pengalaman kerja juga merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi. Pegawai yang lebih berpengalaman dan berpndidikan lebih tinggi akan mendapat kompensasi yang lebih besar dari pegawai yang kurang pengalaman dan atau lebih rendah tingkat pendidikannya. Pertimbangan faktor ini merupakan wujud penghargaan organisasi pada keprofesionalan seseorang. Pertimbangan ini juga dapat memacu karyawan untuk meningkatkan pengetahuannya (Syafrul Zulfikar, 2012). Sesuai dengan hadits yang menyatakan tentang pengalaman:

“ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiada yang memiliki ketabahan kecuali seorang yang telah mengalami ujian. Tidak ada kebijaksanaan, kecuali yang telah kenyang pengalaman." Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.” ( Hadits Riwayat Tirmidzi No 1956 )

Dalam implementasi pengalaman merupakan suatu hal yang terpenting dalam melakukan sebuah pekerjaan, latihan berulang-ulang akan memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang. Bagi seorang karyawan proses-proses dalam bekerja merupakan latihan yang akan menambah pengalaman, sehingga karyawan tersebut mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam proses bekerja. Karenanya pengalaman dapat membangkitkan dan mengundang seseorang untuk melihat semua pekerjaan sebagai peluang untuk terus berlatih dan belajar sepanjang hayat.
Menurut Hitzman (Muhibbin Syah, 1995) mengatakan “pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme dapat dianggap sebagai kesempatan belajar”. Hasil belajar dari pengalaman kerja akan membuat orang tersebut kerja lebih efektif dan efisien. Pengalaman akan membentuk pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang lebih menyatu pada diri seseorang, jika bidang pekerjaan yang ditangani selama masih bekerja merupakan bidang yang sejenis yang pada akhirnya akan membentuk spesialisasi pengalaman kerja diperoleh selama seseorang bekerja pada suatu perusahaan dari mulai masuk hingga saat ini. Selain itu pengalaman dapat diperoleh dari tempat kerja sebelumnya yang memiliki bidang pekerjaan yang sama dengan yang sedang dihadapi. Banyak sedikitnya pengalaman kerja akan menentukan atau menunjukan bagaimana kualitas dan produktivitas seseorang dalam bekerja, artinya mudah sukarnya atau cepat lambatnya seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan akan dipengaruhi oleh seberapa banyak orang tersebut telah memiliki pengalaman kerja dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ini berarti pengalaman akan juga mempengaruhi kemampuan dalam bekerja (Jurnal Penelitian, 2014)

2.3. Kelayakan implementasi dari Akhlak

Disamping masalah keadilan dalam pemberian kompensasi perlu diperhatikan masalah kelayakan. Pengertian layak ini berkaitan dengan standar hidup seperti kebutuhan pokok minimum atau upah minimum sesuai dengan ketentuan pemerintah. Kelayakan juga dilihat dengan cara membandingkan pengupahan diperusahaan lain. bila kelayakan ini sudah tercapai, maka perusahaan sudah mencapai apa yang disebut konsistensi eksternal. Apabila upah didalam perusahaan yang bersangkutan lebih rendah dari perusahaan-perusahaan lain, maka hal ini dapat mengakibatkan kesulitan bagi perusahaan untuk memperoleh tenaga kerja. Oleh karena itu untuk memenuhi kedua konsistensi tersebut (internal dan eksternal) perlu digunakan suatu evaluasi pekerjaan (Mochamad Faqih, 2012), sesuai dengan hadits dari Mustawrid bin Syadad, Rasulullah SAW bersabda:

“ siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikan untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.”  Abu bakar mengatakan: diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda: “ siapa yang mengambil selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (Hadits Riwayat Abu Daud)

Bila implementasi kelayakan dalam pemberian kompensasi yang diberikan perusahaan kepada para karyawan maka merupakan suatu akhlak yang mulia, sesuai dengan hadits :

"Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari Kiamat nanti selain akhlak mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berbuat keji dan berkata-keta keji." (Hadits Riwayat At-Tirmidzi)

"Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya dengan majelisku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebaliknya, orang yang aku benci dan paling jauh dari diriku adalah orang yang terlalu banyak bicara (yang tidak bermanfaat, pen.) dan sombong."  (Hadits Riwayat At-Tirmidzi)

         Maka dariapada itu pemberian kompensasi dengan asas kelayakan sangan berdampak baik pada suatu perusahaan, karena akan menyangkut dengan kelangsungan hidup para karyawan yang berkerja pada perusahaan.

2.4. Adil implementasi dari Mardhatillah

Keadilan kompensasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa karyawan bekerja pada suatu perusahaan dan bukan pada perusahaan lainnya. Kompensasi yang adil maksudnya segala pengorbanan yang dilakukan oleh karyawan seimbang dengan imbalan yang mereka terima. Ada keseimbangan antara produktivitas dengan upah atau gaji atau kompensasi yang diterimanya. Keadilan kompensasi pada prinsipnya adalah sama akan tetapi bagi karyawan yang prestasinya beda maka keadilan kompensasi yang diterima berbeda tergantung pada prestasi kerjanya (Yuanita, 2013).
Syaikh Al-Qaradhawi mengatakan, sesungguhnya pilar penyangga kebebasan ekonomi yang berdiri diatas pemuliaan fitrah dan harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyanga lain yaitu keadilan. Keadilan dalm islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah dasar dan pondasi kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum islam berupa akidah, syariah, dan akhlak( moral). Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang sangat berat, baik dalam industri perbankan, asuransi, maupun dalam bentuk-bentuk perdagangan dan bisnis lainnya. Mungkin karena itula Allah SWT demikian sering menekankan sikap adil ini ketika berbicara muamalah (Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir sula, 2006). demikian pula dalam hadits-hadits Nabi Muhammad. Allah berfirman:

“ sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”                                                                                                          ( Al-Quran Surah An-Nahl Ayat: 90)

dan berikanlah ukuran yang penuh dengan timbangan dengan adil ”                                                                                                                                ( Al-Quran Surah Al-An’am Ayat: 152)

Kita juga dapat mengatakan bahwa orang yang adil adalah orang yang patuh kepada peraturan atau perundang-undangan, atau orang yang tidak merugikan orang lain. ini merupakan implementasi dari pengertian adil yaitu member kepada seseorang apa yang menjadi haknya (Ans Gregory Da Iry, 2009). Sesuai sengan ayat Al-Quran yang artinya:

“ wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai orang-orang yang selalu menegakkan keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk beraku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.
                                     ( Al-Quran Surah Al-Maidah Ayat: 8)

Keadilan dalam pemberian kompensasi, baik itu gaji/upah, bonus, insentif, dan lain-lain dapat menimbulkan persepsi bisa membuat organisasi berjalan dengan baik. Begitu juga dengan sebaliknya organisasi/perusahaan dapat berjalan tidak baik apabila karyawan dalam perusahaan tersebut tidak memberikan  kompensasi secara adil. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya persepsi tentang perbedaan karyawan dalam memandang suatu pekerjaan. Sehingga ada istilah “posisi basah dan kering”. Padahal dalam sebuah organisasi setiap pekerjaan adalah penting karena apabila dalam suatu organisasi ada satu pekerjaan/jabatan tidak berjalan dengan baik maka kegiatan dalam organisasi. perusahaan akan terganggu (Muhammad Rasyid Abdillah, 2012)

  

  KESIMPULAN

 Kompensasi merupakan hal yang sangat sensitif karena menyangkut dengan keberlangsungan kehidupan manusia, dalam organisasi manusia ditempatkan sebagai unsure yang sangat khusus, karena manusia baru akan terdorong untuk berkerja dan meningkatkan produktivitasnya jika beragam kebutuhannya mulai dari kebutuhan fisik, kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan sosial, sampai dengan kebutuhan diri dapat terpenuhi dengan baik.

 Ada beberapa hal yang perlu diingat oleh organisasi dalam pemberian kompensasi. Pertama, kompensasi yang diberikan harus dapat dirasakan adil oleh pegawai dan kedua, besarnya kompensasi tidak jauh berbeda dengan yang diharapkan oleh. Apabila dua hal ini dapat terpenuhi, maka pegawai akan merasa puas. Kepuasan akan memicu pegawai untuk terus meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan organisasi maupun kebutuhan pegawai akan tercapai secara bersama.

Untuk mencapai keadilan sebagaimana diharapkan oleh pegawainya, maka organisasi harus mempertimbangkan kondisi. Kompensasi yang diberikan berdasarkan pekerjaan atau senioritas tanpa memperhatikan kemampuan dan keterampilan seringkali membuat pegawai yang mempunyai keterampilan dan kinerja yang baik menjadi frustasi dan meninggalkan organisasi, sebab kompensasi yang diberikan organisasi dirasakan tidak adil dan tidak sesuai dengan harapan mereka, sebaliknya kompensasi ini akan membuat pegawai yang tidak berprestasi menjadi benalu bagi organisasi. Kompensasi yang diberikan berdasarkan kinerja dan keterampilan pegawai nampaknya dapat memuaskan pegawai, sehingga diharapkan pegawai termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan keterampilannya. Hal ini disebabkan karena pegawai yang selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja dan keterampilannya akan mendapatkan kompensasi yang semakin besar.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Abdul Halim Mahmud. (1996). Karakteristik Umat Terbaik. Jakarta: Gema Insani Press.

Anif Sirsaeba & Mansur Abdul Hakim Muhammad. (2007). Agar kekayaan dilipatkan dan kemiskinan dijauhkan. Jakarta: Republika.

Ans Gregory Da Iry. (2009). DAri Papua Meneropong Indonesia. Grasindo.

Didin Hafidhuddin. (2003). Islam Aplikatif. Jakarta: Gmea Insani Press
.
Hasan Asy Syarqawi. (1994). Manhaj Ilmiah Islami. Jakarta: Gema Insani Press.

Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir sula. (2006). Syariah Marketing.Bandung: Mizan .

INCOMP. (2015). Keistimewaan Akhlak Islami. Bekasi.

Jurnal Penelitian. (2014, Maret). Pengertian pengalaman kerja. Retrieved Mei 27, 2016, from Pengertian pengalaman kerja: http://www.e-jurnal.com/2014/03/pengertian-pengalaman-kerja.html

Manulang. (1984). Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Misbahus Surur. (2009). Dahsyatnya Shalat Tasbih. Jakarta: Qultum Media.

Mochamad Faqih. (2012, April 25). Makalah efektifitas kompensasi terhadap produktifitas kerja. Retrieved Mei 25, 2016, from Makalah efektifitas kompensasi     terhadap produktifitas kerj http://coretankangfaqih.blogspot.co.id/2012/04/makalah- efektifitas-kompensasi-terhadap.html

Muhammad Izzuddin Taufiq. (2006). Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani.

Muhammad Izzuddin Taufiq. (2006). Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhammad Rasyid Abdillah. (2012, juli 17). kompensasi yang adil. Retrieved Mei 25,2016, from kompensasi yang adil  
:http://sheedabdillah.blogspot.co.id/2012/07/kompensasi-yang-adil.html

Republika Mahaka Group. (2015, April 30). Hukum Menunda Gaji Pekerja. Retrieved Mei 24, 2016, from Hukum Menunda Gaji Pekerja: http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/04/30/nnly478-hukum-menunda-gaji-pekerja

Siswo Sanyoto. (2008). Membuka Tabir Pintu Langit menuju agama tauhid dan makrifat. Jakarta: Pt. Mizan Publika.

Spillane, J. J. (2003). Time Manajement. Yogyakarta: Kanisius.

Syafrul Zulfikar. (2012, Maret 28). Office Management And My Story. Retrieved Mei 27, 2016, from Office Management And My Story:                                 https://syafruldzulfikarfajri.blogspot.co.id/2012/03/pemberian-kompensasi.html

Tarmizi Taher. Menyegarkan Akidah Tauhid Insani Mati di era Klenik. Jakarta: Gema Insani Press.

Tim pengembang Ilmu pendidikan FIP-UPI. (2007). Ilmu & Aplikasi Pendidikan.PY.IMTIMA.

Toto Tasmara. (2000). Menuju Muslim Kaffah. Jakarta: Gema Insani Press.

Umar Sulaiman Al-Asyiqar. (2005). Fiqih Niat. Jakarta: Gema Insani Press.

Yuanita. (2013, Februari 25). Keadilan dan kelayakan dalam pemberian kompensasi Retrieved Mei 24, 2016, from Keadilan dan kelayakan dalam pemberian kompensasi :             https://khoyunitapublish.wordpress.com/2013/02/25/keadilan-dan-kelayakan-dalam- pemberian-kompensasi/


Zainuddin. (1996). Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta.

Comments