Suprida (Keunggulan Produk Dalam Pandangan Islam)




KEUNGGULAN PRODUK DALAM PANDANGAN ISLAM

Suprida
Mahasiswa Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: Supridarahayu23@gmail.com



1.   PARADIGMA ISLAM DALAM PENGEMBANGAN ILMU

Bagian ini menjelaskan bagaimana penting paradigma Islam dalam pengembangan ilmu, dan beberapa pandangan Islam yang digunakan dalam pengebangan ilmu khususnya pada penelitian ini, yakni: Tauhid, Ibadah dan Ilmu


1.1 Peran Penting Paradigma Islam dalam Pengembangan Ilmu

Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal (Tobroni, 2010). Sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu (Dunia Islam, 2015). Dalam pandangan Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) dari para ilmuwan muslim (‘ulamā’/mujtahīd) atas persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi dengan bersumber kepada wahyu Allah Subhanahu Wa Taa’la (A.Qadri Azizy, 2003).

Dalam agama Islam al-Qur’an dan al-Hadits merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun yang berbunyi sebagai berikut :

“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.”
(al-Qur’an, Surah al-Alaq, 96: 1)

Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Qur’an. Kata ilmu disebut sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an. Sedangkan kata jadiannya disebut sebanyak 744 kali. Kata jadian yang dimaksud adalah; ‘alima (35 kali), ya’lamu (215 kali), i’lām (31 kali), yu’lamu (1 kali), ‘alīm (18 kali), ma’lūm (13 kali), ‘ālamīn (73 kali), ‘alam (3 kali), ‘a’lam (49 kali), ‘alīm atau ‘ulamā’ (163 kali), ‘allām (4 kali), ‘allama (12 kali),  yu’limu (16 kali), ‘ulima (3 kali), mu’allām (1 kali), dan ta’allama (2 kali) (M. Dawam Rahardjo, 1990).

Selain kata ‘ilmu, dalam al-Qur’an juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al- Qur’ān disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang (M. Dawam Rahardjo, 1990). Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut yang berbunyi :

“Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allahadalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya.”
(al-Qur’an Surat al-Anfāl: 8: 22)

Di samping al-Qur’an, dalam Hadits Nabi banyak disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi (Azyumardi Azra, 1999):

 “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah.”
 (HR. Bukhari- Muslim)

Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: ”Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhîd” (pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-dîn” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus menerus dan bergairah disebutsebut. Tak satupun di antara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu.Tak ada satu cabangpun dalam kehidupan intelektual kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim” (M. Dawam Rahardjo, 1990, dalam Rosenthal, 1970).

Setelah kita ketahui dari penjelasan-penjelasan al-Qur’an dan al-Hadits di atas menunjukkan bahwa paradigma ilmu dalam Islam adalah teosentris, dengan demikian peneliti mencoba menambahkan bagian dalam cara mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar yang dalam istilahnya disebut sebagai epistemologis. Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan dengan term knowledge: logos. Epistemologi atau theory of knowledge ini sering diuraikan sebagai: ilmu (bagian dari filsafat) tentang bagaimana mendapatkan ilmu pengetahuan, logika, dan batas ilmu pengetahuan (Tobroni, 2010).Dalam epistemologis selalu membicarakan dua hal, yaitu: apa itu pengetahuan? dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan?. Yang pertama terkait dengan teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua berkenaan dengan metodologi (Mulyadhi Kertanegara, 2002).

Terkait dengan pertanyaan pertama, apa itu pengetahuan?, epistemologi Islam menjawab bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian fisik yang bisa diindra dan alam metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat. Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengakui alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang bersifat non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam obyek yang dapat diketahui secara ilmiah (Mulyadhi Kertanegara, 2002)

Berkenaan dengan problema epistemologi yang kedua, bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Terdapat perbedaan antara Islam dan Barat. Dalam epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bisa dicapai melalui tiga elemen; indraakal, dan hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda; indra untuk metode observasi (bayānī), akal untuk metode logis atau demonstratif (burhānī), dan hati untuk metode intuitif (‘irfānī). Dengan panca indra, manusia mampu menangkap obyek-obyek indrawi melalui observasi, dengan menggunakan akal manusia dapat menangkap obyek-obyek spiritual (ma’qūlāt) atau metafisik secara silogistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui. Dengan cara inilah akal manusia, melalui refleksi dan penelitian terhadap alam semesta, dapat mengetahui Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Melalui metode intuitif atau eksperensial (dzauq) sebagaimana dikembangkan kaum sufi dan filosof iluminasionis (isyrāqiyah), hati akan mampu menangkap obyek-obyek spiritual dan metafisik. Antara akal dan intuisi, meskipun sama-sama mampu menangkap obyek-obyek spiritual, keduanya memiliki perbedaan fundamental secara metodologis dalam menangkap obyek-obyek tersebut. Sebab sementara akal menangkapnya secara inferensial, intuisi menangkap obyek-obyek spiritual secara langsung, sehingga mampu melintas jantung yang terpisah lebar antara subyek dan obyek (Mulyadhi Kertanegara, 1999).

Jika ilmu pengetahuan dalam Islam bisa dicapai melalui tiga sumber/alat; indra, akal budi, dan hati, maka dalam epistemologi Barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal. Penggunaan kedua alat ini sebagai sumber ilmu pengetahuan didahului konflik tajam ilmuwan Barat selama kurang lebih dua abad. Konflik tersebut tercermin dalam dua aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme (Harun hadiwijoyo, 1980)

Rasionalisme yang dipelopori Rene Descartes (1596- 1650) berpandangan bahwa sumber pengetahuan yang dipandang memenuhi syarat ilmiah adalah akal budi. Akal merupakan satusatunya sumber pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal tidak mungkin salah. Sementara itu empirisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya pengetahuan manusia adalah pengalaman indrawi, yakni pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indra. Dalam pandangan kaum empiris, panca indra memainkan peranan penting dibanding akal budi karena; pertama, semua proposisi yang diucapkan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman. Kedua, manusia tidak memiliki konsep atau ide apapun tentang sesuatu kecuali yang didasarkan pada apa yang diperoleh dari pengalaman. Ketiga, akal budi hanya bisa berfungsi apabila memiliki acuan ke realitas atau pengalaman (A. Sony Keraf dan Mikhael, 2001).

Konflik antara pendukung rasionalisme dan empirisme akhirnya bisa didamaikan oleh Immanuel Kant dengan melakukan sintesis terhadap keduanya, yang kemudian disebutkan dengan kritisisme atau rasionalisme kritis. Menurut Kant terdapat dua unsur penting yang ikut melahirkan pengetahuan manusia, yaitu; pancaindra dan akal budi. Semua pengetahuan manusia tentang dunia bersumber dari pengalaman indrawi. Namun akal budi ikut menentukan bagaimana manusia menangkap fenomina di sekitarnya, karena dalam akal budi sudah ada “kondisi-kondisi” tertentu yang memungkinkan manusia menangkap dunia sebagaimana adanya. Kondisi-kondisi tersebut mirip dengan kacamata yang dipakai seseorang ketika melihat berbagai obyek di sekitarnya. Kacamata itu sangat mempengaruhi pengetahuan orang tersebut tentang obyek yang dilihat (A. Sony Keraf dan Mikhael, 2001).


1.2        Paradigma Tauhid

Tauhid secara bahasa berasal dari kata wahhad-yuwahhidu yang artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa). Secara istikah syar’i tauhid berarti meng-Esakan Allah dalam hal mencipta, menguasai, mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Ny, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya (Khaerul Sobar, 2010).

Tauhid terbagi kedalam tiga macam yaitu: 1) Tauhid ar-Rububiyyah, 2) Tauhid al-Uluhiyyah, 3) Tauhid al-Asma’wa shifat (Khaerul Sobar, 2010). Dengan pemaparannya sebagai berikut ini :

Pertama, Tauhid ar-Rububiyyah, yaitu mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan Allah, dengan meyakini bahwasanya Dia adalah satu-satu-Nya pencipta seluruh makhluk-Nya. Tauhid ar-Rububiyyah terlihat dalam ayat berikut :

“katakanlah: “siapa tuhan langit dan bumi?” Jawablah, “Allah”. Katakanlah, “maka patutkah kamu mengambil perlindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaratan bagi diri merekasendiri?” katakanlah, “adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang ; apajkah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah  yang menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” katakanlah, “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi maha Perkasa”
(al-Qur’ans Surah ar-Ra’d, 13:16)

Kedua, Tauhid al-Uluhiyyah, disebut juga tauhid ibadah, dengan kaitannya yang disandarkan kepada Allah diebut tauhid uluhiyyah dan dengan kaitannya yang disandarkan kepada hamba disebut tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allha Azza wa jalla dalam peribadahan (Khaerul Sobar, 2010).

Ketiga, Tauhid al-Asma’wa shifat, yaitu menesakan Allah dalm nama-nama dan sifat-sifat bagi-Nya, dengan menetapkan semua nama-nama dan sifat-siafat yang Allah sendiri menamai dan mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya (al-Qur’an), sunnah Nabi-Nya shallallahu’alaihi wa sallam tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’til (mengingkari), takyif (mempertanyakan/menggambarkan bagaimana-Nya) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) (Khaerul Sobar, 2010).

Dalam aplikasinya pengucapan kalimat tauhid dengan lisan belaka tidaklah cukup karena ia mempunyai konsekuensi yang harus ditunaikan. Para ulama menegaskan bahwa mengesakan Allah adalah dengan meninggalkan perbuatan syirik baik kecil maupun besar. Diantara konsekuensi pengucapan kalimat tauhid itu adalah mengetahui kandungan maknanya kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Khaerul Sobar, 2010).


1.3        Paradigma Ibadah
               
Menurut bahasa kata ibadah berarti patuh (al-tha’alu) dann tunduk (al-khudlu). Ubudiyyah artinya tunduk dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidah dapat disebutkan kecuali untuk dipatuhi kepada Allah (Amir Syarifudin, 2003).

Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah: 1) Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasul-Nya, 2) Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi, 3) Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
 (al-Qur’an, Surah Adz-Dazariyat, 51:56-58)

Allah Subhannahu wa Ta’ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’at-kan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah) (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca al-Qur’an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan qadha-Nya, tawakkal, mengharap nikmat-Nya dan takut dari siksa-Nya (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik dan benar maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal (Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, 2016).

Aplikasi secara sederhana dari kalimat tauhid laa ilahaa illallah” adalah keyakinan yang mutlak yang patut kita tanamkan dalam jiwa bahwa Allah maha Esa dalm hal mencipta dalam penyembahan tanpa ada sesuatupun yang mencampuri dan tanpa ada sesuatupun yang sepadan dengan-Nya kemudian menerima dengan ikhlas apa-apa yang berasal dari-Nya baik berupa perintah yang mesti dilaksanakan ataupun larangan yang mesti ditinggalkan semua itu akan mudah ketika hati ikhlas mengakui bahwa Allah subhanahu wata a’ala itu maha Esa (Khaerul Sobar, 2010).


1.4        Paradigma Ilmu

Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara besistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Dari pengertian tersebut nampak bahwa ilmu memang mengandung arti pengetahuan,tetapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis atau menurut Moh Hatta, pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu (Dunia Islam, 2015).

Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang memandang orang-orang yang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadist-hadist Nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu (Uhar Suharsaputra, 2016).

Ada beberapa keutamaan berilmu dalam Islam (Dunia Islam, 2015), yaitu: Pertama, yang paling takut kepada Allah hanyalah orang yang berilmu, al-Qur’an menjelaskan menganai hala tersebut dalam ayat berikut ini:

“sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
 (al-Qur’an Surah al-Fathir, 35: 28)

Ibnu katsir rahimamullah berkata, “sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu)

Kedua, Orang yang dipahamkan agama, itulah yang dikehendaki kebaikan, seperti yang terdapat dalam hadist berikut ini :

“Barang siapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama”
(Hadits Riwayat Bukhari, No.71; Muslim No.1037)

Ketiga, Akan hidup terus setelah matinya, seperti yang terdapat dalam hadits berikut ini :

“Jika seorang manusia mati maka teroutuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya”
(Hadits Riwayat Muslim, No.1631)


2.Konsep Keunggulan Produk Menurut Pandangan Islam

2.1 Implementasi Tauhid dalam Konsep Keunggulan Produk Menurut Paradigma Islam

Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhidullah, menurut tuntunan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti (Syekh muhammad bin Abdul wahab, 2005).

Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut :

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka telah kerjakan.
(al-Qur’an, Surah an-Nahl, 16:97)

Berdasarkan pada pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan manusia, maka wajib bagi setiap muslim memperlajarinya. Kajian tauhid sangat luas dan panjang sehingga dalam penelitian ini hanya mencoba mengkaji tauhid pada bagian produk (barang) . mengenai hal ini dapat dilihat pada hadits yang berbunyi sebgai berikut (Qardhawi, 1982) :

“Diriwayatkan ada seorang laki-laki memberi hadiah satu guci arak kepada Nabi salallahualaihi wassalam. Nabi pun memberitahukan kepada orng itu bahwa arak telah diharamkan oleh Allah. Lalu lelaki itu pun bertanya “bolehkah saya menjaualnya ?” Nabi menjawab “zat (sesuatu) yang diharamkan untuk diminum haram untuk dijual”. Lelaki itu balik bertanya “bagaimana kalau saya hadiahkan saja kepada orang yahudi ?” Nabi menjawab “sesungguhnya Allah yang telah mengharamkan arak, mengharamkan juga untuk dihadiahkan kepada orang Yahudi”. Maka lelaki itu bertanya lagi “lalu apa yang harus saya pebuat?” “tuangkan saja (arak itu) diselokan” jawab Nabi
(Hadis Riwayat al-Humaidi)

Hadist di atas menggambarkan cara islam memperlakukan barang yang dilarang berdasarkan sifat tauhid (Salman, 2010). Yang dimaksudkan peneliti disini menyangkut pada unsur barang(produk) yang di produksi dan yang digukan. Yang dimana telah kita ketahui dalam Islam ada yang namanya dua pembagian barang yaitu, barang halal dan barang haram. Mengenai hal ini ada sabda Rasul sebagai berikut ini :

Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar-samar, belum jelas )yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
(Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Seperti di dalam hadits tersebut bahwa telah jelas adanya perbedaan antara produk yang halal dan yang haram, selain itu ini didasari karena kewajiban bagi umat muslim untuk mengkonsumsi dan menggunakan produk yang halal dan juga dikarenakan umat muslim tidak semata-mata menggunakan barang untuk kesenangan saja, tetapi juga untuk menjalankan tugas, tanggung jawab menjalankan misi yaitu beribadah kepada Allah yang menjadi salah satu faktor mentauhidkan Allah. Contohnya pengguna produk Islami seperti hijab bagi muslimah yang merupakan identitasnya sebagai orang yang beriman, membentuk citra positif dan reputasi baik (Eka Widiastuti, 2013).


Beranjak dari yang telah kita ketahui di atas, bahwa di dalam Islam penggunaan produk tidak hanya menjadi pemuas kebutuhan atau terlebih hanya sebagai pemuas keinginan saja. Jelas ketika dalam menggunakan suatu produk yang hanya didasarkan pada pemuasan keinginan itu bisa menjadi perbuatan yang salah, misalnya kita menggunakan baju koko setiap hari mungkin terlihat sangat rapi dan berwibawa tetapi ketika tujuannya hanya untuk pamer maka itu menjadi salah. Sehingga kita pahami bahwa kuenggulan produk yang sesuai dengan syariah yang kita kaitkan dengan unsur tauhid tidak hanya pada produk yang sangat bagus tetapi juga pada manfaat dan keuganaan produk yang bersangkutan.

Kemudian ada pendapat lain yang menguatkan bahwa ada keunggulan yang lebih pada produk Islami yaitu Islam sendiri dengan sudah menjadi keunggulan pada setiap produk yang berlandaskan Islam dengan penerapan aturan dan standartnya dalam suatu produk yang menimbulkan citra yang unik. Keunikan ini yang bisa disebut sebagai keunggulan pada kalangan konsumen. Adapun bukti yang menyatakan adanya hubungan antara agama (tauhid) dengan keunggulan produk yaitu dapat ditemukan pada aktivitas keseharian individu, serta dalam ritual yang langka dan unik. Pertama, Pada aktivitas keseharian individu pastikan pemilihan produk yang menjadi konsumsi umat Islam ialah produk yang unggul dalam syariah ini dikarenakan Islam sendiri telah mengatur umatnya dalam mengkonsumsi suatu produk. contohmya produk makanan, ketika produk makanan tersebut berlebelkan logo halal maka ada keunggulan tersendiri pada makanan yang berlogo halal tersebut. Kedua, dalam ritual yang langka dan unik, pada bagian ini peneliti menggambarkan pada kegiatan lebaran dimana pada saat itu umat Islam sangat sensitif pada pemilihan produk yang akan dikonsumsi karena ada tujuan untuk mendekatkandiri pada Allah (yang menjadi unsur tauhid yang dimaksudkan). Inilah yang menjadikan bahwa unsur ketuhanan (tauhid) memiliki hubungan pada produk yang menjadi keunggulan tersendiri, karena adanya aturan dalam Islam tentang pemilihan produk pada kegiatan sehari-hari yang menjadi jalan untuk mendekatkan diri pada tuhan yang Maha Esa.


2.2  Implementasi Ibadah dalam Konsep Keunggulan Produk Menurut Paradigma Islam

 Ibadah merupakan nafas dari ajaran Islam, karena setiap kegiatan kehidupan umat Islam yang selama kegiatan itu berada dalam koridor Islam disebut sebagai ibadah, disebabkan Islam sendiri telah berpartisifasi dalam mengatur kegiatan hidup umat Islam dari ia bangun hingga tidur dan begitu seterusnya.hal ini berkaitan dengan ayat berikut ini :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(al-Qur’an, Surah Az-Zariyat, 51:59)

Berdasarkan ayat di atas telah jelas dikatakan perintah manusia untuk beribadah. Dalam penelitian ini peneliti mengkaitkan ibadah pada kegiatan kualitas produk. Di mana kita ketahui kualitas produk menjadi pokok penting dalam kegiatan perdangan. Ada 3 unsur penting dalam menentukan kualitas produk yang dicontohkan oleh Rasul dalam kegiatan perdagangannya yaitu, pertama, unsur produknya, kedua, unsur pelakunya, ketiga metodenya (cara pelaksanaanya) (Azhari Kasim dalam M. Ulum, 2010).

Pertama, unsur produknya, Dalam Islam terdapat produk-produk (barang dan jasa) yang dapat dikonsumsi (halal) dan tidak dapat dikonsumsi (haram). Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsir al-Misbah, bahwa produk yang haram itu dua macam, yaitu haram karena zatnya, dan haram karena bukan zatnya Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu produk bukan tanpa sebabnya. Pengharaman untuk produk karena zatnya, antara lain karena berbahaya bagi tubuh, dan jiwa. Sedangkan pengharaman yang bukan karena zatnya antara lain memilki kaitan langsung dalam membahayakan moral dan spiritual (Azhari Kasim dalam M. Ulum, 2010).

Batasan produk untuk dikosumsi tersebut diperjelas dengan firman Allah sebagai berikut :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(al-Qur’an, Surah al-Baqarah, 2:168)

Kedua, unsur pelakunya, Rasulullah salallahualaihi wassalam lebih menekankan pada hubungan dengan pelanggan yang dikenal dengan istilah saat ini Customer Relationship Management atau istilah yang lebih baru Customer Experience Management yang tidak hanya memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan tetapi juga memahami yang dipikirkan pelanggan. Mengenai hal ini ada beberapa prinsip yang selalu diterapkan Rsulullah salallahu alaihi wassalam, yaitu :

Pertama, selalu jujur, sikap jujur yang yang menjadi dasar kegiatan dan ucapan baginda Rasul secara otomatis membuahkan kepercayaan jamgka panjang dari semua orang yang bertransaksi dengan beliau, kedua, propesional, baginda Rasul selalu selalu menekankan propesionalisme dalam setiap pekerjaan sehinggan menjauhkan diri dari sifat malas, tidak mau berusaha dan hanya menerima tanpa ada usaha untuk menuju ke arah yang lebih baik (Winda Kartikarini, 2013). Hal ini di perjelas dengan hadits sebagai berikut ini :

“Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya, berkata seseorang: bagaimana caranya menyia-nyiakan amanat ya Rasulullah ? Bersabsa Rasulullah: apabila diserahkan pekerjaan pada yang bukan ahlinya maka tunggulah masa kehancuran.
(Hadits Riwayat Bukhari )


Ketiga, silaturrahim, menjaga hubungan sesama manusia menjadi hal penting dikarenakan dengan menjaga hubungan tersebut memudahkan dalam kegiatan usaha melalui membangun link dan netwoking, Keempat, murah hati, dalam membentuk marketing Rasulullah selalu menerapkan sifat murah hati dalam menjaga kesetiaan para pelanggannya (Winda Kartikarini, 2013), kelima,memiliki kpribadian spritual, mengenai hal ini ada sebuah hadis diriwayatkan dari Umar R.A. Rasullullah bersabda:

“Aku mendengar Rasulullah salallahualaihi wassalam bersabda: Sekiranya kalian bertawakal (menyerah) kepada Allah subhanahuwata a'la dengan sungguh-sungguh, Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti burung yang keluar di pagi hari dengan perut kosong (lapar), tetapi kembali di sore hari dengan perut penuh (kenyang)”
(Hadits Riwayat at-Tirmiji)

Hadist ini dengan jelas menerangkan bahwa betapa Allah akan memudahkan rezeki kepada kita sepanjang kita tetap bertawakal kepada-Nya dengan sungguh-sungguh (Abu fawas asy-syirboony, 2013).

Ketiga, metodenya (cara pelaksanaanya), dalam pelaksanaanya ada beberapa prinsip yang dipraktikkan baginda Rasulullah, yaitu: pertama, mendahulukan pencarian pahala yang besar dan abadi di akhirat ketimbang keuntungan kecil dan terbatas yang ada di dunia. Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih dari pada sesuatu yang secara moral kotor, walaupun misalnya yang disebut terakhir mendatangkan banyak keuntungan yang lebih besar, kedua, Mendahulukan pekerjaan yang halal dari pada yang haram, ketiga, berprilaku baik dan simpatik, Prinsip ini harus melandasi seluruh perilaku ekonomi manusia, baik produksi, distribusi maupun konsumsi. Nabi Muhammad salallahialaihi wassalam pada zamannya, menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat, sehingga ia digelar sebagai al-Amin, keempat, adil, Berbisnis secara adil adalah wajib hukumnya, bukan hanya imbauan dari Allah Swt. Sikap adil (al-’Adl) termasuk di antara nilai-nilai yang Islam. Islam telah mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang teraplikasikan dalam setiap hubungan dagang dan kontrak-kontrak bisnis, kelima, transfaran dan komunikatif(tablig), harus mampu menyampaikan keungggulan-keunggulan produknya dengan jujur dan tidak harus berbohong dan menipu pelanggan. Harus menjadi komunikator yang baik, yang bisa bicara benar dan Bi al- Hikmah (bijaksana dan tepat dan sasaran) kepada mitra bisnisnya,keenam, tidak suka menjelek-jelekkan (ghibah), dilarang menjelek-jelekkan produk para pesaing atau merendahkannya, Ghibah disebut juga suatu ejekan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca. Islam melindungi kehormatan pribadi dari suatu pembicaraan oleh yang tidak disukainya untuk disebut-sebut dalam ghibah (M. Ulum, 2010), ketujuh, bedakan jenis produk, Rasulullah memberikan contoh untuk memisahkan antara barang yang bagus dan barang yang jelek. Selain itu beliau juga membedakan harga sesuai dengan kualitas produknya (Ismail, 2011).

Dengan demikian setelah kita ketahui bersama sesuai dengan pemaparan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam menentukan keuggulan produk sesuai dengan Islam tidak hanya berpatok pada unsur produknya tetapi juga berkaitan dengan unsur pelakunya dan metode pelaksanaanya.


2.3 Implementasi Ilmu dalam Konsep Keunggulan Produk Menurut Paradigma Islam

Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang berbunyi sebagai berikut :

“...maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan”
(al-Qur’an, Surah al-Mujadillah, 58:11)


Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan memperoleh kedudukan yang tinggi, pada dasarnya ilmu akan membantu seseorang dalam mengenai hal yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Seperti pengertian ilmu berikut ini, Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun seecara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu (Dunia Islam, 2015).


Dari pengertian di atas dapat diambil ilmu sangat berguna dan bermanfaat, namun ilmu yang ada pada saat ini tak terbilang jumlahnya. Sehingga dengan demikian peneliti memfokuskan kajian ilmu pada bidang menentukan keunggulan produk, di dalam bidang keunggulan produk pengetahuan/ilmu yang wajib dimiliki/diketahui adalah klasifikasi produk. Klasifikasi produk ini terbagi mnjeadi dua, yaitu: pertama, barang tidak tahan lama (noundrable goods) yaitu, barang berwujud yang biasanya habis dikonsumsi dalam satu atau beberapa kali pemakaian. Contohnya sabun, minuman dan makanan ringan. Kedua, barang yang tahan lama (durable goods) yaitu, yaitu barang yang bisa tahan lama dengan banyak pemakaian. Contohnya TV, lemari es dan lain sebagainya (Mulyani jefhar, 2014).

Selain memahami klasifikasi produk yang juga tak kalah penting yaitu pengetahuan tentang dimensi kualitas produk sehingga dapat menjadi pembeda kualitas-kulitas yang dimiliki oleh setiap produk, dimana menurut Orville, larreche dan Boyd dimensi kualitas tersebut adalah: pertama, kinerja (performance) ,berhibungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk, kedua, daya tahan (durability), yang berarrti berapa lama umur produk yang bersangkutan bertahan sebelum produk tersebut harus diganti, ketiga, kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik operasi dasar dari sebuah produk memenuhi spesifikasi tertentu dari konsumen atau tidak ditemukannya cacat pada produk, keempat, fitur (features), adalah karakteristik produk yang dirancang untuk menyempurnakan fungsi produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk, kelima, reabilitas (reliability), adalah probabilitas bahwa produk akan bekerja dengan memuaskan atau tidak dalam priode waktu tertent. Semakin kecil terjadi kerusakan maka produk tersebut dapat diandalkan, keenam,estetika (aesthetics), hubungan dengan bagaimana penampilan produk bisa dilihat dari tampak, rasa, bau, dan bentuk dari produk, ketujuh, kesan kualitas (percived quality), sering dibilang merupakan hasil dari penggunaan pengukuran yang dilakukan secara tidak langsung karena terdapat kemungkinan bahwa konsumen tidak mengerti atau kekurangan informasi atas produk yang bersangkutan (Walker & Harper, 2005).

Setelah kita paparkan dua cara mengetahui keunggulan produk di atas kini kita akan mengupas bebepara faktor untuk menentukan keunggulan produk menurut Kotler, adapun caranya antara lain: Pertama, prose pembuatan produk dan perlengkapan serta pengaturan yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, aspek penjualan, apabila kualitas dari barang yang dihasilkan dari barang yang terlalu tinggi membuat harga jual semakin mahal sehingga jumlah yang terjual semakin rendah karena kemampuan beli terbatas, sedangkan apabila kualitas dari barang yang dihasilkan dari barang yang terlalu rendah akan dapat menyebabkan berkurangnya penjualan. Ketiga, perubahan permintaan konsumen konsumen atau pemakai sering menginginkan adanya perubahan-perubahan barang yang dipakainya baik berupa kuantitas maupun kualitas. Keempat, peranan inpeksi, selain dapat mengawasi atau menjadi kualitas standart yang telah ditetapkan juga berusaha untuk memperkecil biaya produksi (Amstrong, 1997).

Kemudian dengan mengetahui cara menentukan keunggulan dari suatu produk, maka tak kalah penting juga kita untuk mengatahui tentang tahapan pengembangan produk sehingga akan selalu ada produk yang unggul. Adapun tahapannya sebagai berikut: Pertama, ide generation yaitu tahapan untuk mencari peluang produk baru secara terus menerus dan sistematis. Kedua, penyaringan gagasan yaitu pada bagian ini bertujuan mengurangi banyaknya gagasan dengan mencari dan menghilangkan gagasan buruk sedini mungkin. Ketiga, pengembangan dan pengujian konsep yaitu mencoba mengukur kemanfaatan dan daya tarik produk. Keempat, pengembangan strategi pemasaran. Kelima, analisis bisnis. Keenam, pengembangan produk. Ketujuh, pengujian pasar. Kedelapan, komersialisasi (Haryono Chandra, 2015).

Dengan beberapa pemaparan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa ilmu dalam keunggulan produk sangat luas, mulai dari klasifikasi produk, dimensi produk, faktor- faktor keunggulan produk hingga sampa pengembangannya. Ini menandakan bahwa tidak dapat dengan mudah mengetahui keunggulan dari suatu produk karena berbeda kebutuhan maka berbeda pula produk yang menjadi keunggulannya.


DAFTAR PUSTAKA
A. Sony Keraf dan Mikhael. (2001). Ilmu pengetahuan: Sebuah tinjauan Filosofis.Yogyakarta: Kanisius.
A.Qadri azizy. (2003). Pengembangan ilmu-ilmu keIslaman. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama.
Abu Fawas asy-Syirboony. (2013, Maret 12). Keutamaan tawaqal kepada Allah menurut al-Quran dan as-Sunnah. Retrieved Maret 14, 2016, from Abu Fawas asy-Syirboony: https://abufawaz.wordpress.com/2013/03/12/keutamaan-tawakkal-kepada-allah-menurut-al-quran-dan-as-sunnah.
Amir Syarifudin. (2003). Garis-garis besar fiqih . Jakarta: Kencana.
Amstrong, P. K. (1997). Prinsip-prinsip pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Azhari Kasim dalam M. Ulum. (2010). Konsep promosi penjualan dalam Islam . Retrieved Maret 15, 2016, from Digital Library UIN Sunan Ampel: http://digilib.uinsby.ac.id/8647/5/bab.%20ii.pdf.
Azyumardi Azra. (1999). Pendidikan Islam; Tradisi dan modernisasi menuju millenium. Jakarta: Logos.
M. Dawam Raharjo (1990) dalam karya Rosenthal. (1970). Knowledge Triumphant: The concept of knowledge in medieval Islam. Leiden: E.J. Brill.
Dunia Islam. (2015, Januari 18). Pengertian ilmu pengetahuan dan kedudukan ilmu pengetahuan menurut Islam. Retrieved April 16, 2016, from Dunia Islam: http://www.duniaislam.org/18/01/2015/pengertian-ilmu-pengetahuan-dan-kedudukan-ilmu-menurut-islam.
Eka Widiastuti. (2013, November 6). Kepatuhan syariah dalam membangun identifikasi Islamic brand. Retrieved Mei 5, 2016, from Shariah Compaliant: http://sebi-community.blogspot.co.id/2013/11/kapatuhan-syariah-dalam-membangun.html.
Harun Hadiwijoyo. (1980). Sari sejarah filsafat barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Haryono Chandra. (2015, Januari 25). Strategi pengembangan produk. Retrieved Mei 20, 2016, from Harcann Blog: http://harcann.blogspot.co.id/2015/01/strategi-pengembangan-produk.html.
Ismail. (2011, Mei 19). Marketing bisnis ala Rasulullah SAW. Retrieved Mei 6, 2016, from Handoko Tantra: http://www.handokotantra.com/marketing-bisnis-ala-rasulullah-saw.html.
Khaerul Sobar. (2010). Tauhid. Retrieved April 22, 2016, from Khaerul Sobar's Blog: https://khaerulsobar.wordpress.com/makalah/makalah-tentang-tauhid-studi-islam-i.
M. Dawam Rahardjo. (1990). Ensiklopedi al-Qur'an: Tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep kunci. Jakarta: Penerbit Paramadina bekerjasama Jurnal Ulumul Qur'an.
M. Ulum. (2010). Konsep promosi penjualan dalam Islam. Retrieved Maret 15, 2016, from Digital Library UIN Sunan Ampel: http://digilib.uinsby.ac.id/8647/5/bab.%20ii.pdf.
Mulyadhi Kertanegara. (1999). Islamisasi ilmu pengetahuan dan telaah kritis terhadap epistemologi barat. Refleksi, 1(3), 64.
Mulyadhi Kertanegara. (2002). Menembus batas panorama filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Mulyani Jefhar. (2014, Mei 11). Pengertian produk, definisi kualitas produk, dan dimensi kualaitas produk. Retrieved Mei 19, 2016, from Jhoblog: http://mulyajho.blogspot.co.id/2014/05/pengertian-produk-definisi-kualitas.html.
Walker, O. C.; Harper W. L. (2005). Manajemen pemasaran suatu pendekatan strategis dengan orientasi global. Jakarta: Erlangga.
Qardhawi. (1982). Halal dan haram dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu.
Salman. (2010, Februari 18). Ekonomi dan manajemen dalam perspektif tauhid. Retrieved April 16, 2016, from Masjid salman ITB.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan. (2016). Ibadah: Pengertian, macam dan keluasan cakupan. Retrieved April 23, 2016, from Media belajar Islam: https://ciptoabiyahya.wordpress.com/2012/02/09/ibadah-pengertian-macam-dan-keluasan-cakupannya.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. (2005). Kitab Tauhid. Retrieved Mei 6, 2016, from Islam House: https://islamhouse.com/id/books/70872.
Tobroni. (2010, Desember 1). Paradigma pemikiran Islam. Retrieved April 23, 2016, from Tobroni: http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam.
Uhar Suharsaputra. (n.d.). Ilmu dalam pandangan Islam. Retrieved April 16, 2016, from Uhar Suharsaputra Blog: https://uharsputra.wordpress.com/filsafat/islam-dan-ilmu.

Winda Kartikarini. (2013, April 16). Strategi pemasaran yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Retrieved Mei 6, 2016, from Winda Kartikarini Blog: http://windakartikarini.blogspot.co.id/2013/04/strategi-pemasaran-yang-diterapkan-oleh.html.


Comments